BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam dan Proses Integrasi - Integrasi suatu bangsa
adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan
adanya integrasi akan melahirkan satu kekuatan bangsa yang ampuh dan segala
persoalan yang timbul dapat dihadapi bersama-sama. Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah wujud konkret dari proses integrasi bangsa. Proses integrasi
bangsa Indonesia ini ternyata sudah berlangsung cukup lama bahkan sudah dimulai
sejak awal tarikh masehi. Pada abad ke-16 proses integrasi bangsa Indonesia
mulai menonjol. Masa itu adalah masa-masa pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
1. Peranan Para Ulama
dalam Proses Integrasi
Agama Islam yang masuk dan berkembang di Nusantara mengajarkan kebersamaan dan
mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama. Islam mengajarkan persamaan
dan tidak mengenal kasta-kasta dalam kehidupan masyarakat. Konsep ajaran Islam
memunculkan perilaku ke arah persatuan dan persamaan derajat. Disisi lain,
datangnya pedagang-pedagang Islam di Indonesia mendorong berkembangnya
tempat-tempat perdagangan di daerah pantai. Tempat-tempat perdagangan itu
kemudian berkembang menjadi pelabuhan dan kota-kota pantai. Bahkan kota-kota
pantai yang merupakan bandar dan pusat perdagangan, berkembang menjadi
kerajaan. Timbulnya kerajaan-kerajaan Islam menandai awal terjadinya proses
integrasi. Meskipun masing-masing kerajaan memiliki cara dan faktor pendukung
yang berbeda-beda dalam proses integrasinya.
2. Peran Perdagangan
Antarpulau
Proses integrasi juga terlihat melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan
antarpulau. Sejak zaman kuno, kegiatan pelayaran dan perdagangan sudah
berlangsung di Kepulauan Indonesia. Pelayaran dan perdagangan itu berlangsung
dari daerah yang satu ke daerah yang lain, bahkan antara negara yang satu
dengan negara yang lain. Kegiatan pelayaran dan perdagangan pada umumnya
berlangsung dalam waktu yang lama. Hal ini, menimbulkan pergaulan dan hubungan
kebudayaan antara para pedagang dengan penduduk setempat. Kegiatan semacam ini
mendorong terjadinya proses integrasi.
3. Peran Bahasa
Perlu juga kamu pahami bahwa bahasa juga memiliki peran yang strategis dalam
proses integrasi. Kamu tahu bahwa Kepulauan Indonesia terdiri atas beribu-ribu
pulau yang dihuni oleh aneka ragam suku bangsa. Tiap-tiap suku bangsa memiliki
bahasa masing-masing. Untuk mempermudah komunikasi antarsuku bangsa, diperlukan
satu bahasa yang menjadi bahasa perantara dan dapat dimengerti oleh semua suku
bangsa. Jika tidak memiliki kesamaan bahasa, persatuan tidak terjadi karena di
antara suku bangsa timbul kecurigaan dan prasangka lain. Bahasa merupakan
sarana pergaulan. Bahasa Melayu digunakan hampir di semua pelabuhan-pelabuhan
di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu sejak zaman kuno sudah menjadi bahasa
resmi negara Melayu (Jambi).
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui Proses
Integrasi Nusantara
BAB II
PEMBAHASAN
Proses integrasi Nusantara
Mengapa berkembangnya Islam di Indonesia menjadi faktor yang mempercepat proses
integrasi bangsa Indonesia? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat dilihat
secara etis, kultural, historis, dan ideologis.
1) Etis
Secara etis ajaran Islam tidak mengakui adanya perbedaan golongan dalam
masyarakat. Dapat dikatakan bahwa ajaran Islam lebih bersifat demokratis
dibandingkan dengan ajaran atau kepercayaan yang dianut bangsa Indonesia
sebelum masuknya Islam. Selain itu agama Islam tidak mengenal perbedaan kasta,
golongan, dan lain-lain.
Menurut ajaran Islam, semua orang yang menganut Islam dianggap sebagai saudara
dan memiliki kedudukan yang sama. Cara pandang seperti ini dipraktikkan oleh
para pedagang Islam di seluruh Nusantara dalam pergaulan di kota-kota pelabuhan
Nusantara. Di kota-kota dagang Nusantara, seperti, Malaka, Pasai, Banten,
Cirebon, Tuban, Demak, Makasar, Ambon dan lain-lain, terjadi hubungan yang
egaliter (berada dalam posisi yang sama). Misalnya, para pedagang yang berada
di Malaka, Banten, dan lain-lain menganggap para pedagang Islam yang berasal
dari berbagai daerah dan suku bangsa Indonesia sebagai saudara. Terjadilah
keterikatan dan persaudaraan di antara mereka, perbedaan latar belakang suku,
adat-istiadat, bahasa, tradisi, dan lain-lain menjadi tidak penting karena
semuanya merasa berada dalam satu pandangan dan kedudukan yang sama. Mereka
merasa bersatu karena pandangan yang sama tersebut.
Dari persamaan pandangan mengenai etika sosial tersebut, terdapat dua hal yang dipengaruhinya. Pertama, perdagangan di antara orang-orang Islam berkembang dengan pesat. Masuknya Islam ke Indonesia terjadi melalui proses perdagangan. Dengan adanya perdagangan tersebut, selain Islam menyebar di Nusantara, perdagangan di kepulauan ini pun ikut berkembang pesat.
Dari persamaan pandangan mengenai etika sosial tersebut, terdapat dua hal yang dipengaruhinya. Pertama, perdagangan di antara orang-orang Islam berkembang dengan pesat. Masuknya Islam ke Indonesia terjadi melalui proses perdagangan. Dengan adanya perdagangan tersebut, selain Islam menyebar di Nusantara, perdagangan di kepulauan ini pun ikut berkembang pesat.
Faktor etika sosial yang dianut para pedagang Nusantara berpengaruh terhadap
perkembangan kegiatan ekonomi dagang. Kedua, adanya pandangan tersebut telah
mendorong terciptanya perasaan terintegrasi di antara para pedagang penganut
Islam yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Tampaknya, dalam kegiatan
dagang, faktor perbedaan etnis, budaya, bahasa, dan lain-lain diabaikan. Mereka
beranggapan bahwa yang terpenting adalah keuntungan. Keuntungan tersebut harus
dinikmati bersama-sama di antara penganut agama yang sama.
Para pedagang Islam dan penganut Islam di Indonesia pada awal perkembangannya
tidak memusuhi penganut kepercayaan lain. Seperti telah dijelaskan pada bab
terdahulu, dalam proses penyebaran Islam tidak dicatat dalam sejarah bahwa
orang-orang Islam memerangi pemeluk agama lain.
2) Kultural
Secara kultural (budaya), pemeluk Islam di Indonesia tidak mempertentangkan
ajaran Islam dengan adat-istiadat atau kepercayaan yang dipengaruhi oleh ajaran
Hindu-Budha. Sebagian besar wali yang menyebarkan Islam di jawa menggunakan
pendekatan budaya setempat untuk menyebarkan Islam. Para wali dan ulama
penganut ajaran tasawuf berpandangan bahwa para penganut ajaran lain harus
tetap dihormati. Mereka juga berpandangan bahwa pemeluk kepercayaan lain harus
didekati dengan metode yang paling bisa diterima oleh mereka.
Dilihat dari awal perkembangan Islam di Indonesia tampaknya kita sampai pada
kesimpulan bahwa perbedaan kepercayaan, tradisi, dan adat istiadat bukan
merupakan faktor disintegrasi, melainkan sebaliknya. Sikap para pedagang,
penyebar Islam, dan penganut Islam Indonesia yang dapat menyesuaikan diri
(akomodatif) terhadap perbedaan pandangan, adat-istiadat dan kepercayaan
setempat yang telah lebih dulu dianut menyebabkan tidak terjadinya konflik
budaya.
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia tidak menimbulkan benturan-benturan
antara budaya Islam dengan budaya setempat. Adanya sikap akomodatif tersebut
malah mempercepat terjadinya akulturasi dan melahirkan kebudayaan khas
Indonesia. Sikap toleransi pemeluk Islam terhadap pemeluk kepercayaan lain
menjadi salah satu faktor yang membantu terjadinya proses integrasi bangsa.
Hasil akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan lokal Indonesia,
baik dalam bentuk gagasan maupun dalam bentuk fisik telah melahirkan identitas baru
di kalangan pemeluk Islam di Indonesia. Ternyata, kebudayaan Islam di Indonesia
berbeda dengan kebudayaan Islam di negara-negara Islam lain. Kekhasan dan
persamaan kebudayaan Islam Indonesia yang dianut oleh suku-suku bangsa
Indonesia menciptakan perasaan bersatu di antara pemeluk-pemeluknya. Dengan
demikian, hasil akulturasi menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam
proses integrasi bangsa.
Sikap toleransi dalam aspek budaya dapat juga dilihat dalam praktik perdagangan. Para pedagang Islam berpandangan bahwa mereka bisa berdagang dengan siapa pun tanpa melihat latar belakang agama. Secara kultural, para pedagang Islam memiliki sikap terbuka terhadap perbedaan suku bangsa, agama, dan golongan dalam kegiatan dagang.
Sikap toleransi dalam aspek budaya dapat juga dilihat dalam praktik perdagangan. Para pedagang Islam berpandangan bahwa mereka bisa berdagang dengan siapa pun tanpa melihat latar belakang agama. Secara kultural, para pedagang Islam memiliki sikap terbuka terhadap perbedaan suku bangsa, agama, dan golongan dalam kegiatan dagang.
Misalnya, para pedagang Islam di Malaka, Banten, Makasar, dan lain-lain bukan
hanya berdagang dengan pedagang Islam dari Arab, Persia, Gujarat, melainkan
dengan para pedagang non-Islam dari Cina, Champa, dan lain-lain. Jadi secara
historis, walaupun perdagangan pada abad 14-17 didominasi para pedagang Islam,
mereka bersedia berdagang dengan siapa pun tanpa melihat perbedaan latar
belakang bangsa dan agama.
Para pedagang Nusantara tidak menentang bangsa asing yang berdagang di perairan
Indonesia. Mereka beranggapan bahwa yang terpenting dalam perdagangan adalah
keuntungan yang bisa diraih. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, walaupun
berambisi menguasai jalur penting dagang, beranggapan bahwa laut merupakan
wilayah terbuka yang bisa digunakan oleh siapa pun. Pandangan seperti ini
antara lain dianut oleh kerajaan Islam Makasar. Sikap terbuka tersebut telah
membantu proses integrasi karena dengan demikian para pedagang Nusantara bisa
berdagang dengan berbagai pedagang, baik dari Nusantara maupun mancanegara.
3) Historis
Secara historis, ternyata sikap terbuka tersebut disalahgunakan oleh kekuatan
asing yang ingin menguasai sumber barang dagangan. Mereka berambisi untuk
menguasai claerah penghasil rempah-rempah. Jatuhnya Malaka ke tangan bangsa
Portugis tahun 1511 adalah bukti adanya pemaksaan kehendak pedagang Barat dalam
menguasai wilayah dagang.
Peristiwa jatuhnya pelabuhan Malaka tersebut merupakan awal perubahan sikap
pedagang Nusantara. Sejak peristiwa itu, para pedagang Nusantara mulai berhati-hati
dengan pedagang asing terutama dari Barat (Eropa). Para pedagang Islam mulai
menyadari bahwa datangnya para pedagang Portugis di kepulauan Nusantara bukan
hanya ingin berdagang, melainkan juga memiliki tujuan politis dan historis,
yaitu ingin menghancurkan kekuatan Islam.
Mengapa bangsa Portugis ingin menghancurkan kekuatan Islam? Latar belakang
historisnya dapat dilihat mengenai ekspansi kekuasaan Dinasti Umayyah di
Cordoba. Ternyata, penaklukkan Jazirah Iberia (wilayah bangsa Portugis dan
Spanyol) oleh dinasti Islam Umayyah abad ke-7 M dan disusul dengan kekuasaan
Islam atas wilayah Eropa lainnya sampai abad ke-15, serta jatuhnya
Konstantinopel, ibukota Romawi Timur, ke tangan kerajaan Islam Turki Usmania
tahun 1453, menimbulkan kebencian bangsa Eropa terhadap kekuatan Islam yang
pernah menaklukkannya.
Bangsa Portugis dan Spanyol yang secara historis pernah dikuasai oleh
orang-orang Islam ingin membalas dendam penaklukkan tersebut. Didukung oleh
faktor ambisi mengejar kejayaan, menguasai sumber perdagangan rempah-rempah,
dan misi agama, mereka berusaha untuk menjelajah dunia dan menguasai jalur
dagang internasional yang pada umumnya dikuasai oleh para pedagang Islam.
Dengan ambisi tersebut, satu per satu kekuatan Islam diperangi dan
pelabuhan-pelabuhannya diduduki.
Setelah berhasil melalui pantai barat, selatan, dan timur Afrika, mereka sampai
ke Samudera Hindia dan bertemu dengan pedagang-pedagang Islam di
pelabuhan-pelabuhan sepanjang jalur tersebut. Akhirnya mereka sampai di Malaka
dan berhasil menaklukkan dan menguasai pelabuhan itu tahun 1511. Setelah
berhasil merebut Malaka, bangsa Portugis terus berusaha menaklukkan
kekuatan-kekuatan Islam lainnya di Nusantara, antara lain, Pelabuhan Banten,
Ambon, dan Maluku.
Tindakan bangsa Portugis tersebut disusul oleh bangsa Belanda yang memiliki
ambisi sama. Bangsa Belanda pun berusaha untuk menguasai sumber penghasil
rempah-rempah dan pelabuhan-pelabuhan penting kerajaan Islam Nusantara. Dengan
cara memecah belah (devide at impera), satu per satu pelabuhan-pelabuhan
penting Nusantara dikuasainya, seperti Sunda Kelapa, Ambon, Makasar, Demak,
Cirebon, dan lain-lain.
Peranan Islam dalam proses integrasi telah dipengaruhi oleh perkembangan
historis di atas. Berdasarkan perkembangan tersebut, para pedagang Islam serta
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara melihat bahwa kedatangan orang-orang Barat
bukan hanya untuk berdagang, melainkan juga untuk menaklukkan kekuasaan Islam
di Nusantara. Mereka mulai sadar bahwa kekuatan asing telah menyalahgunakan
keterbukaan sikap pedagang Islam dan keterbukaan laut Nusantara.
Akibat dari perkembangan historis tersebut, adalah Pertama, peranan pedagang
Islam di Laut Nusantara mengalami kemunduran karena para pedagang asing (Barat)
mulai memonopoli perdagangan di kawasan tersebut.
Kedua, Islam telah dijadikan
sebagai satu kekuatan pemersatu untuk melawan kekuatan asing. Akal bulus
datangnya bangsa Barat tersebut justru telah menyatukan kerajaan-kerajaan Islam
atas dasar azas yang sama yaitu agama Islam dalam menghadapi Barat. Walaupun
mereka tidak bersatu secara politis, akan tetapi telah terdapat kesamaan
pandangan di kalangan umat Islam saat itu bahwa kekuatan asing tersebut akan
menghancurkan kekuatan Islam. Oleh karena itu, Islam digunakan sebagai satu
kekuatan azasi untuk mengusir penjajah. Kesamaan pandangan tersebut membuktikan
bahwa Islam telah mempercepat proses integrasi.
4) Ideologis
Perlawanan daerah-daerah di Indonesia terhadap kekuatan Belanda pada abad ke-19
merupakan bukti bahwa Islam telah digunakan sebagai kekuatan azasi dan yang
telah dianut masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu itu dimanfaatkan oleh
para pemimpin perlawanan di daerah yang pada umumnya kharismatis dan memiliki pengetahuan
agama Islam yang mendalam.
Dengan kekuatan tersebut, semangat untuk mengusir penjajah semakin besar.
Rakyat yang berada di bawah pemimpin kharismatis percaya bahwa Belanda adalah
kafir, dan musuh Islam. Dengan semangat perang sabil, perlawanan di daerah pada
abad ke-19 merupakan perang yang telah merepotkan pemerintah kolonial Belanda.
Contoh-contoh yang menunjukkan bahwa Islam telah digunakan sebagai kekuatan
azasi dapat dilihat dalam Perang Saparua (1817), Perang Paderi (1819-1832),
Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjarmasin (1852, 1859, 1862), Perang
Aceh (1873-1912), dan Perlawanan Petani Banten (1888). Walaupun perang-perang
tersebut masih bersifat kedaerahan, secara historis dapat dikatakan bahwa
perang yang dilandasi oleh kekuatan ideologis Islam itu telah menjadi dasar
bagi lahirnya nasionalisme Indonesia pada awal abad ke-20.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara etis, sosial-budaya,
ideologis,dan historis, Islam memiliki peran yang besar dalam proses integrasi
bangsa. Sebenarnya, dasar-dasar gerakan nasionalisme atau gerakan kebangsaan
Indonesia pada awal abad ke-20 telah diletakkan sejak tumbuh dan berkembangnya
penganut serta kekuatan politik Islam di Nusantara, yaitu sejak abad ke-16.
DAFTAR PUSTAKA