BAB I

PENDAHULUAN

 

A.                                   Latar Belakang
Istilah Hubungan Internasional (International Relations) petama kali diciptakan oleh Jeremy Bantham, yang beliau tujukan untuk mewakili hubungan- hubungan antar negara-bangsa yang bersifat global.1Sedangkan Joseph S. Roucek mengatakan bahwa“International Relations concerned with the analisys of such forces of international politics as the great powers, nationalism and imperialsm. It is also concerned with the legal principle which nations have agreed to observe, and with the nature and the scope of organization to which nations belong”.2
Secara umum, dunia Hubungan Internasional (HI) memang lebih akrab ataupun sangat melekat terhadap para kalangan elite politik saja karena secara kasat mata HI memang dipandang sebagai dunia yang memiliki sebuah karakter yang tentunya mempunyai karakterisitik-karkteristik tertentu utnuk masuk ke dalamnya. Namun dengan berevolusinya HI hingga sampai saat ini fenomena tersebut perlahan terkikis dengan sedirinya. Hal ini dikarenakan HI bukanlah suatu hal yang hanya bias disentuh oleh kalangan elite politik ataupun sejenisnya sebab HI sudah menyentuh ke seluruh lapisan masyarakat. Ini semua bersumber dari banyaknya isu-isu yang terdapat dalam dunia HI dimana isu-isu tersebut merupakan isu yang sangat sensitif bagi kelangsungan hajat hidup orang banyak. HI sendiri mempunyai sejarah yang panjang yang patut kita pelajari karena HI


BAB II

HAK VETO NEGARA ANGGOTA TETAP DK PBB


A.                 Hak Veto
1.                  Pengertian Hak Veto
Hak veto merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh 5 negara besar anggota tetap DK PBB, yang lazim disebut “the big five”. Kelima negara tersebut adalah AS, Inggris, Perancis, Cina dan Rusia (sebagai pengganti Uni Sovyet). Hak istimewa tersebut adalah hak untuk menolak atau membatalkan suatu keputusan DK PBB.
Walaupun istilah veto ini sendiri tidak terdapat dalam Piagam PBB, tetapi kelima anggota tetap DK PBB memiliki apa yang dinamakan “veto”. Jadi apabila salah satu dari negara anggota tetap DK PBB menggunakan hak vetonya untuk menolak suatu keputusan yang telah disepakati anggota yang lain, maka keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan.1
Keberadaan hak veto ini sangat erat kaitannya dengan kedudukan dan kewenangan dari DK PBB yang sangat luas. Kewenangan-kewenangan itu antara lain adalah :
(a)                                  Kewenangan untuk memilih Ketua Majelis Umum yang mana Majelis Umum ini memiliki arti yang sangat penting dalam kelangsungan hidup PBB;
(b)                                  Kewenangan merekomendasikan suatu negara untuk masuk sebagai anggota PBB yang baru;

2.                  Sejarah, Latar Belakang dan Perkembangan Hak Veto


Hak veto yang dimiliki oleh negara-negara besar, pada awalnya dibicarakan secara teratur pada waktu merumuskan Piagam PBB, baik di Dumbarton Oaks maupun di Yalta, dan di San Fransisco. Bahwasanya kepada kelima negara yang dianggap sangat bertanggung jawab pada penyelesaian Perang Dunia II akan merupakan anggota tetap DK dan kepada mereka diberikan hak veto, hal ini adalah merupakan imbalan dari tanggung jawab mereka terhadap perdamaian dan keamanan internasional (primary responsibilities).2
Secara hukum kekuasaan yang dimiliki oleh anggota tetap DK PBB ini merupakan previleges yang diberikan kepada mereka. Namun secara hukum mereka tidak mempunyai kewajiban atau tanggung jawab yang berbeda dengan negara anggota PBB lainnya. Piagam hanya menentukan bahwa tanggung jawab utama (primary responsibilities) untuk perdamaian dan keamanan internasional ada pada pihak DK dan bukan pada anggota tetap DK.3
Pada pembicaraan di Dumbarton Oaks terdapat perbedaan perumusan tentang pasal mengenai veto. AS menghendaki supaya ada aturan yang membatasi penggunaan veto, misalnya dlam soal tata tertib. Demikian juga supaya suara dari
negara yang menjadi pihak dalam sengketa yang dibicarakan di DK tidak mempunyai hak suara, juga bagi negara anggota tetap DK, maka negara tersebut tidak dapat menggunakan hak vetonya. Uni Sovyet waktu itu menolak pendapat AS dan menghendaki veto penuh tanpa pembatasan.4
Di Yalta pembicaraan tentang veto ini berlanjut, pembahasannya dititik beratkan pada anggota tetap DK. Anggota tetap DK yang memiliki hak veto diwajibkan abstain dalam pemungutan suara yang diambil untuk penyelesaian sengketa di mana mereka merupakan pihak yang berselisih. Uni Sovyet berjuang dengan gigih untuk dapat mempergunkan hak vetonya di dalam segala kasus tanpa memperhatikan konsep yang ideal dalam hukum bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menjadi hakim dalam masalahnya sendiri. Akhirnya Uni Sovyet menerima saran AS, bahwa anggota tetap DK harus abstain bila ada pemungutan suara yang harus diambil tentang suatu sengketa di mana mereka adalah salah satu pihak dalam sengketa.5
Dalam Pasal 27 ayat 1 Piagam PBB dikatakan bahwa setiap anggota DK mempunyai satu suara. Jika ketentuan Pasal 27 ayat 1 ini dihubungkan dengan Pasal 27 ayat 3, maka akan nampak perbedan hak suara antara anggota tetap DK dengan anggota tidak teatp DK. Perbedaan ini terletak pada masalah non prosedural dan masalah prosedural.
Dalam masalah non prosedural ditetapkan bahwa keputusan harus diputuskan oleh minimal 9 suara, termasuk suara bulat dari lima anggota tetap DK. Sedangkan untuk masalah prosedural ditetapkan bahwa keputusan akan diambil minimal 9 suara anggota DK (tidak harus dengan suara bulat anggota tetap DK).6 Ketentuan ini menunjukkan betapa besarnya peran dan pengaruh anggota tetap DK dalam proses pengambilan keputusan, karena untuk masalah- masalah penting yang menyangkut perdamaian dan keamanan internasional (non prosedural) harus ada persetujuan mereka secara bulat (tanpa veto).
Kekuatan hak veto yang semula dimaksudkan sebagai alat agar DK memiliki kekuatan yang memadai, dalam prakteknya telah menyimpang dari maksud semula. Ternyata penggunaan hak veto oleh kelima negara anggota tetap DK, terutama AS telah digunakan dengan tidak ada batasnya. Dengan demikian semakin mempertegas bahwa konsepsi hak veto menempatkan kelima negara anggota tetap DK PBB memiliki kedudukan dan atau kedaulatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara anggota PBB lainnya. Namun justru konsep tersebut bertentangan dengan asas persamaan kedaulatan (principle of the sovereign equality).
Pada saat ini opini yang berkembang pada masyarakat internasional pada negara-negara dunia ketiga, mengatakan bahwa keberadaan lima negara anggota tetap DK PBB dengan hak vetonya itu perlu ditinjau kembali, karena perkembangan dunia yang sudah semakin global dan demokrasi yagn semakin berkembang, serta berlarut-larutnya upaya penyelesaian sengketa internasional yang membawa dampak pada masalah kemanusiaan akibat digunakannya hak veto.7
Argumentasi lain adalah bahwa hak veto merupakan warisan Perang Dunia II yang memberikan keistimewaan kepada negara-negara kuat sudah tidak releven lagi diterapkan pada masa globalisasi dan letika peta politik internasional sudah berubah. Karena PBB perlu di restrukturisasi atau direformasi, terutama organ DK, agar dapat mengakomodasi perkembangan internasional, khususnya negara- negara dari dunia ketiga. Untuk keperluan tersebut, Pasal 108 dan 109 Piagam PBB mengatur tentang perubahan terhadap ketentuan Piagam yang dianggap tidak relevan lagi.
Pasal 108 Piagam PBB menyebutkan :

“Perubahan-perubahan yang diadakan terhadap Piagam ini berlaku bagi semua anggota PBB apabila hal itu telah diterima oleh suara dua pertiga dari anggota-anggota Majelis Umumdan diratifikasi sesuai dengan proses- proses perundang-undangan dari dua pertiga anggota-anggota PBB termasuk semua anggota tetap DK”
Pasal 109 Piagam PBB menyebutkan :

1.                                                           Suatu konferensi Umum dari anggota PBB yang bermaksud meninjau Piagam yang telah ada, dapat diselenggarkan pada waktu dan tempat yang disetujui oleh dua pertiga suara anggota Majelis Umum serta sembilan suara anggota manapun dari DK PBB. Setiap anggota PBB hanya mempunyai satu suara dalam konferensi tersebut.
2.                                                           Setiap perubahan dari Piagam yang ada, disepakati oleh dua pertiga suara dari sidang akan berlaku apabila diratifikasi sesuai dengan proses-proses konstitusional oleh dua pertiga dari anggota-anggota PBB termasuk segenap anggota tetap DK.
3.                                                           Apabila sidang seperti tersebut di atas belum diadakan sebelum sidang tahunan yang kesepuluh dari Majelis Umum sesudah berlakunya Piagam yang sekarang, maka usul untuk mengadakan sidang tersebut agar dicantumkan dalam agenda sidang Majelis Umum PBB dan sidang akan diadakan apabila ditetapkan demikian berdasarkan suara terbanyak dari anggota Majelis Umum serta tujuh suara anggota manapun dari DK.


B.                                    Dewan Keamanan PBB


Organisasi ini terdiri atas lima anggota permanen dan 10 non anggota permanen. Lima negara tersebut adalah Amerika, Inggris, Prancis, Russia dan Cina. Mengenai kedudukan Russia tidak diperdebatkan untuk menggantikan posisi Uni Soviet yang bubar dan tidak perlu adanya amandemen Piagam PBB. Sepuluh negara anggota tidaktetap dipilih setiap dua tahun sekali oleh Majelis Umum. Pada awal anggota tidak tetap jumlahnya hanya enam negara, namun berubah menjadi sepuluh negara sejak 1 Januari 1996.8
Suatu hal yang menarik dari lima negara anggota Dewan Keamanan memiliki hak veto berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Selanjutnya dapat kita lihat frekuensi penggunaan hak veto yang digunakan oleh kelima, negara anggota Dewan Keamanan sejak tahun 1945 sampai dengan 1992.9(Lihat Tabel 1) Permasalahan yang krusial adalah seberapa besar kekuasaan negara anggota Dewan Keamanan dalam kaitannya dengan hak veto yang mereka miliki. Apabila terdapat suatu konflik, negara anggota tetap Dewan Keamanan turut campur langsung dalam sengketa tersebut atau paling tidak memiliki kepentingan- kepentingan tersembunyi. Kesulitan lebih jauh adalah dengan besarnya kekuasaan
yang ada di tangan Dewan Keamanan akan menyulitkan PBB dalam mengambil tindakan terhadap kelima negara tersebut bahkan semuanya pasti tidak akan mudah untuk mengendalikannya apalagi dengan hak veto yang mereka miliki.
Dibandingkan dengan Majelis Umum, Dewan Keamanan PBB lebih kompleks, sekaligus sederhana. Dikatakan lebih kompleks karena Dewan ini tidak hanya menjadi ajang politik dunia pada umumnya, tetapi juga politik negara- negara besar. Interaksinya lebih intensif dari Majelis Umum. Sehingga benturan pendapat di dalamnya cenderung lebih mempengaruhi sistem internasional. Kompleksitasnya semakin terasa dengan mengingat jenis pokok permasalahan yang dihadapi Dewan. Dewan ini juga bisa dianggap sederhana karena hak veto para anggota tetap dapat menghentikan pembuatan keputusan. Berbeda dengan Majelis Umum, Dewan Keamanan sering gagal menetapkan resolusi-resolusi yang penting.
Dewan Keamanan tumbuh bentuk dasar atau persekutuan dasar para pemenang Perang Dunia kedua. Selama perang pun terdapat rasa antipati dan saling mencurigai antara Barat dan Uni Soviet. Namun perlunya bersekutu melawan ancaman fasis menumbuhkan kerjasama di antara negara-negara besar yang kemudian menjadi pemenang perang. Manfaat kerjasama itu membuat mereka, termasuk Uni Soviet, merasa yakin bahwa kerjasama itu dapat diteruskan sebagai sarana kolektif untuk, melalui PBB, menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Namun rasa saling curiga yang terus melekat dan pengalaman menakutkan Amerika terlibat dalam perang di luar negeri yang tidak dikehendakinya, terlihat pada rumus pemungutan suara Dewan Keamanan yang rumit. Untuk hal-hal penting, keputusan Dewan diambil dari mayoritas Sembilan suara “termasuk kesepakatan para anggota tetap”.10 Artinya keputusan itu bebas dari veto para anggota tetap. Suara-suara abstain tidak dihitung sebagai suara negatif. Biasanya semua anggota tetap memilih suara abstain bila hal itu tidak akan mempengaruhi hasil keputusan.

1.                                                Tujuan dan Prinsip PBB


Pasal 1 Piagam PBB memuat tujuan PBB antara lain :

1.                                     Memelihara perdamaian dan keamanan internasional;

2.                                     Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa berdasarkan prinsip- prinsip persamaan derajat;
3.                                     Mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan persoalan internasional di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan serta masalah kemanusiaan, dan hak-hak asasi manusia;
4.                                     Menjadi pusat bagi penyelenggaraan segala tindakan-tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan bersama.
Adapun asas-asas PBB termuat dalam Pasal 2 Piagam PBB yang digunakan sebagai dasar untuk mencapai tujuan PBB tersebut diatas, antara lain:
1.                                     PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua anggotanya;

2.                                     Kewajiban untuk memenuhi kewajiban-kewajiban sesuai dengan apa yang tercantum dalam Piagam;
3.                                     Setiap perselisihan harus diselesaikan secara damai agar perdamaian dan keamanan tidak terancam;
4.                                     Mempergunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara harus dihindarkan;
5.                                     Kewajiban untuk membantu PBB terhadap tiap kegiatan yang diambil sesuai dengan Piagam PBB dan larangan membantu negara di mana negara tersebut oleh PBB dikenakan tindakan-tindakan pencegahan dan pemaksaan;
6.                                     Kewajiban bagi negara bukan anggota PBB untuk bertindak sesuai dengan Piagam PBB apabila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional;
7.                                     PBB tidak akan campur tangan dalam masalah persoalan dalam negeri (domestic jurisdiction) dari negara-negara anggotanya.

1.1.                                                         Prinsip Persamaan Kedaulatan


Pasal 2 butir 1 Piagam PBB memuat asas yang menyatakan bahwa PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua negara anggotanya. Asas ini sangat penting bagi semua negara anggota, karena dengan demikian PBB bukanlah organisasi internasional yang bersifat “supranasional”. Selain itu asas ini juga berkaitan dengan asas collectivity atau asas kegotongroyongan, artinya tindakan- tindakan yang dijalankan atas nama PBB sifatnya kolektif, bergotong royong sesuai dengan asas-asas demokrasi. Hal yang demikian mengharuskan dijalankannya asas koordinasi, artinya bahwa segala tindakan dan kegiatan bangsa-bangsa ke arah perdamaian harus diselaraskan dan dipersatukan.11
Asas persamaan kedaulatan yang tercantum dalam Pasal 2 butir 1 Piagam PBB tersebut termasuk asas hukum umum. Berdasarkan Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, maka asas-asas hukum umum merupakan sumber hukum internasional yang ketiga. Yang dimaksudkan dengan asas-asas hukum umum adalah asas-asas hukum yang mendasari sistem hukum modern. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem hukum modern adalah sistem positif yang didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum negara barat, yang sebagian besar didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Romawi.12 Perlu ditegaskan disini bahwa yang menjadi sumber hukum internasional
adalah asas-asas hukum-hukum umum dan bukan hanya asas-asas hukum internasional. Brierly mengatakan bahwa asas-asas hukum umum ini meliputi spektrum yang luas, yang juga meliputi asas-asas hukum perdata yang diterapkan oleh peradilan nasional yang kemudian dipergunakan untuk kasus-kasus hubungan internasional.13 Dengan demikian, yang termasuk ke dalam asas-asas hukum umum ini antara lain, asas pacta sunt servanda, asas bonafides, asas penyalahgunaan hak (abus de droit), serta asas adimpleti non est adiplendum dalam hukum perjanjian. Tentu saja termasuk juga di dalamnya asas hukum internasional, misalnya asas kelangsungan negara, penghormatan kemerdekaan negara, asas non intervensi dan asas persamaan kedaulatan negara.


Jika dihubungkan dengan persoalan hak veto yang dimiliki oleh 5 (lima) negara anggota tetap DK PBB, maka pertanyaan yang timbul adalah apakah berarti hak veto kelima negara anggota tetap DK PBB itu bertentangan dengan asas hukum umum? Untuk menjawab ini tentu kita telusuri terlebih dahulu tentang bagaimana awal mula munculnya hak veto dan bagaimana pula pemungutan suara di DK PBB.

1.2.                                                         Prinsip-prinsip Dalam Pengambilan Keputusan di DK PBB


Pengambilan keputusan dalam organisasi internasional, khususnya PBB dapat dilakukan baik melalui pemungutan suara ataupun tidak. Keputusan yang diambil tanpa pemungutan suara dapat melalui konsensus atau aklamasi, baik yang dilakukan atas saran ketua sidang yang bersifat “ruling” maupun usul anggota tanpa ada pihak yang menolak.14 Hal ini dapat dimungkinkan jika memang benar-benar dapat memberikan sumbangan bagi penyelesaian yang efektif dan kekal bagi perbedaan-perbedaan yang ada. Dengan demikian dapat memperkokoh wewenang PBB. Beberapa aturan tata cara (rules of procedure) bahkan memungkinkan Ketua Sidang untuk mengupayakan konsensus bagi usul- usul.
Kadang-kadang penerimaan konsensus diartikan bagi sesuatu negara atau beberapa negara tidak ingin menghambat jalannya keputusan, walaupun tidak menyetujui usul yang diajukan. Dalam hal demikian negara-negara tersebut dapat menyatakan keberatan-keberatannya untuk tidak merasa terikat oleh keputusan yang diambil secara konsensus tersebut.15
Sistem dasar di dalam PBB mengenai persuaraan (pemungutan suara) tercermin dalam Pasal-Pasal 18, 19, 20 dan 27 Piagam PBB, dua sistem diantaranya telah digunakan secara umum. Disatu pihak didasarkan atas prinsip “one nation one vote” dan dilain pihak didasarkan atas nilai-nilai ekonomi, geografis, dan lain-lain yang disebut “weighted voting”. Sistem ini memberikan kepada negara-negara besar, yaitu lima anggota tetap DK PBB suatu hak veto secara ekslusif di DK.
Pengambilan keputusan melalui pemungutan suara di DK PBB terhadap semua masalah kecuali yang bersifat prosedural memerlukan dukungan suara bulat dari kelima negara anggota tetap DK PBB sebagai syarat utama sebagaimana tersirat dalam Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Sedangkan badan- badan PBB lainnya mengambil keputusan, baik melalui mayoritas sederhana maupun mayoritas mutlak.
Keputusan melalui mayoritas mutlak atau mayoritas dua pertiga adalah menyangkut masalah-masalah penting seperti :16
(a)                                  Rekomendasi    mengenai     pemeliharaan    perdamaian    dan    keamanan internasional;
(b)                                  Pemilihan keanggotaan tidak tetap DK PBB, anggota ECOSOC dan anggota Dewan Perwalian menurut Pasal 86 ayat (1e)
(c)                                  Masuknya negara baru anggota PBB;

(d)                                  Penanggulangan hak-hak dan keistimewaan keanggotaan;

(e)                                  Pengeluaran anggota dengan paksa;

(f)                                   Masalah-masalah yang berkaitan dengan beroperasinya sistem perwalian; dan

(g)                                  Masalah-masalah anggaran.

Sedangkan masalah-masalah lainnya diluar ketentuan diatas akan diputuskan dengan suara mayoritas dari negara-negara anggota yang memberikan suara, baik secara afirmatif (mendukung) maupun secara negatif (menolak). Namun negara yang menyatakan abstain tidak dihitung dalam pemungutan suara.17 Ini diartikan sebagai mayoritas sederhana yaitu mayoritas sekecil mungkin yang lebih dari setengah suara yang dihitung.18
Ada pula yang disebut mayoritas bersyarat (qualified majority) dimana keputusan ditetapkan atas dasar persentase suara yang biasanya lebih besar dari mayoritas sederhana. Mayoritas bersyarat yang paling umum adalah dua pertiga tetapi mayoritas bersyarat lainnya, seperti tiga perempat atau tiga perlima juga digunakan.19
Sementara itu, terhadap masalah-masalah non prosedural, pengambilan keputusan yang dianut di DK PBB adalah berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Dalam pasal tersebut diatur bahwa dari 15 anggota DK PBB diperlukan 9 suara afirmatif (dukungan), termasuk suara dari 5 anggota tetap DK PBB, inilah yang sering disebut sebagai hak veto anggota tetap DK PBB, sebab jika satu saja anggota tetap tidak menyetujui, maka pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan.
Dalam pengambilan keputusan diluar masalah-masalah prosedural (non prosedural) di DK PBB dijumpai beberapa permasalahan, antara lain :20

(a)                                  Jika 5 negara anggota tetap seluruhnya memberikan suara afirmatif sedangkan tidak mencapai 9 suara afirmatif karena sebuah atau lebih negara anggota tidak tetap memberikan suara negatif (menolak), maka keputusan tidak dapat diambil.

(b)                                  Jika tercapai 9 suara afirmatif tetapi ada sebuah negara anggota tetap DK yang menyatakan menolak, maka satu suara negatif ini membuat batalnya keputusan karena hakikatnya veto telah dijatuhkan.
(c)                                  Lain halnya dengan suara abstain yang diberikan oleh sebuah atau lebih negara anggota tetap DK yang tidak diperhitungkan dalam rangka Pasal 27 ayat (3) Piagam, sehingga dalam pengambilan keputusan haruslah dicari tambahan paling sedikit suara dari anggota tidak tetap sejumlah suara negara anggota tetap DK yang menyatakan abstain.
(d)                                  Jika salah satu anggota DK baik anggota tetap maupun tidak tetap terlibat dalam pertikaian, menurut Bab IV dan Pasal 52 ayat (3) Piagam PBB, maka para pihak tersebut haruslah abstain dan dengan sendirinya memerlukan penggantian suara afirmatif dari negara anggota lainnya untuk mencapai 9 suara afirmatif.

1.3.                                                     Pendukung Dana Terbesar di PBB


Amerika Serikat juga memainkan peranan penting dalam pengelolaan sektor ekonomi. Amerika menjadi tuan rumah Konferensi Bretton Woods pada tahun 1944 yang melahirkan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Rekonstruksi dan Pembangunan Internasional (IBRD). Washington menolak dibentuknya Organisasi Perdagangan Internasional pada tahun 1948, karena hal itu akan menghalangi melakukan pembatasan perdagangan secara sepihak. Perjanjian Bersama Tariff dan Perdagangan (GATT) dengan struktur kelembagaan bakunya kini banyak mengambil alih fungsi tersebut.21 Struktur ekonomi Barat diciptakan pada saat Amerika Serikat menjadi raja perdagangan tanpa tandingan. Produktivitasnya paling tinggi dan ekspornya paling besar. Surplus neraca perdagangan (pendapatan berupa selisih ekspor terhadap impor) juga sangat besar. Dollar Amerika tidak hanya dicari orang di luar negeri, tetapi juga menjadi standar kurs internasional.22
Dari kacamata pihak luar negeri, reaksi Amerika atas masalah ini merupakan tindakan pembalasan. Terutama Eropa Barat, yang sekian tahun lamanya berusaha membujuk Jerman, Perancis, dan negara-negara lainnya guna menaikkan nilai mata uang mereka terhadap dollar, paling merasa bahwa tindakan-tindakan Amerika pada tahun 1971 mengacaukan peraturan ekonomi internasional. Peningkatan pajak impor dari semua negara sebesar 10% - tindakan sepihak Amerika dalam rangka mengurangi impor dan defisit neraca perdagangannya – jelas merupakan pelanggaran terhadap GATT. Bahkan hanya dalam beberapa bulan kemudian Washington memaksa perubahan total atas standar nilai tukar sedunia. Amerika berkata kepada negara-negara lain bahwa hal itu dimaksudkan untuk mengimbangi menurunnya nilai dollar. Semua ini dilakukan tanpa menghiraukan peraturan IMF.23
Pada bidang ekonomi lainnya, rekor Amerika Serikat tak terkalahkan. Tak ada pemerintah lain, yang menyumbang lebih banyak bagi program-program ekonomi PBB daripada Amerika Serikat (meskipun presentase sumbangan itu terhadap total kekayaan Amerika relatif kecil). Secara keseluruhan Amerika Serikat menanggung sekitar 40% pembiayaan program-program PBB.24 Pada tahun 1972 Majelis Umum memutuskan untuk mengurangi iuran wajib Amerika untuk anggaran pokok PBB (anggaran total PBB terdiri dari iuran wajib dan iuran sukarela) dari 31,5% menjadi 25%, sesuai dengan permintaan Amerika. Permintaan ini tidak dikarenakan kepercayaan Amerika terhadap PBB menurun. Melainkan karena Pemerintahan Nixon semakin tidak menyukai kegiatan-kegiatan PBB dan anggaran belanja domestik Amerika sendiri dikurangi. Meskipun PBB sangat membutuhkan uang Amerika, permintaan pengurangan iuran itu diterima; karena PBB ingin menghapus kesan bahwa dengan sumbangannya senilai seperti anggaran PBB Amerika dapat mendominasi.25

C.                                   Fungsi DK PBB Terhadap Upaya Keamanan dan Perdamaian Dunia


Agar dapat berperan secara maksimal dalam konteks yang diinginkan para negara anggotanya, fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh Dewan Keamanan (DK) dicantumkan dalam Piagam PBB. Isinya sebagai berikut :
1.                                     Mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional dengan prinsip- prinsip dan tujuan PBB.
2.                                     Menginvestigasi setiap pertikaian atau situasi yang mungkin menyebabkan friksi internasional.
3.                                     Merekomendasi metode-metode penyelesaian pertikaian seperti itu atau syarat-syarat penyelesaiannya.
4.                                     Memformulasikan rencana-rencana bagi pembentukan satu sistem yang mengatur persenjataan.
5.                                     Menetapkan adanya ancaman terhadap perdamaian atau tindakan agresi, dan merekomendasikan tindakan apa yang harus diambil.
6.                                     Menyerukan negara-negara anggota untuk melaksanakan sanksi-sanksi ekonomi dan tindakan-tindakan lain, yang tidak melibatkan penggunaan kekerasan, untuk mencegah atau menghentikan agresi.
7.                                     Melaksanakan tindakan militer terhadap agressor.

8.                                     Merekomendasikan diterimanya anggota baru.

9.                                     Melaksanakan fungsi-fungsi perwalian dari PBB di wilayah strategis

10.                                 Menyampaikan rekomendasi kepada Majelis Umum mengenai pengangkatan SekJen dan bersama-sama dengan majelis, memilih Hakim-hakim Mahkamah Peradilan Internasional.26
Namun secara garis besar, fungsi dari DK PBB dapat dibagi ke dalam tiga kelompok seperti yang tertera di dalam Piagam yaitu : pertama, merekomendasi kepada pihak-pihak yang terlibat konflik, kedua, memberikan rekomendasi kepada Majelis Umum PBB, dan ketiga, mengeluarkan keputusan-keputusan yang mengikat.27

1.                                                Mekanisme DK PBB


Tugas utama PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional dipegang oleh Dewan Keamanan. Ketika sebuah pengaduan mengenai ancaman terhadap perdamaian dibawa ke Dewan Keamanan, tindakan pertama yang dilakukan oleh Dewan biasanya adalah menganjurkan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk mencapai kesepakatan lewat cara-cara damai seperti disepakati
26 UN Department of Political Affairs. Basic Facts About the UN Sales No.E.981.20, Press Release GA/9784 (10 Oktober 2000), and the Office of the Director of Security Council Affairs Division.http://www.un.org/Docs/sc/unsc_structure.html.diakses tanggal 18 Mei 2005.
dalam artikel 2 (4). Dewan bisa menempatkan sebuah kasus ke dalam agenda sidangnya, memperdebatkan kasus-kasus tersebut dalam sidang, melakukan investigasi, merekomendasi prosedur atau cara-cara penyelesaian atau bentuk bantuan lain, menunjuk perwakilan khusus atau meminta Sekjen untuk menggunakan jasa-jasa baiknya.28 Bahkan beberapa kasus, Dewan bisa mengeluarkan seperangkat peraturan untuk penyelesaian secara damai.
Ketika sebuah konflik berkembang menjadi pertikaian, yang pertama kali dilakukan Dewan adalah mengakhiri secepat mungkin. Pada beberapa kesempatan, Dewan telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan gencata senjata yang sangat penting dalam mencegah meluasnya permusuhan. Dewan Keamanan juga bisa mengirimkan pasukan perdamaian untuk membantu mengurangi ketegangan di wilayah yang bermasalah, memisahkan pihak-pihak yang bertikai, dan menciptakan kondisi yang tenang agar penyelesaian secara damai bisa terlaksana.29

2.                                                Multilateralisme Dewan Keamanan PBB


Tindakan multilateral yang akan mengefektifkan implementasi resolusi PBB tentang penyelesaian masalah sengketa internasional. Dalam rangka pengendalian krisis, acara Sidang DK-PBB tidak sama sekali terlepas dari lebih dari 100 agenda dari Sidang Umum PBB dan agenda Sidang DK-PBB dapat terjadi pengecekan dan pengecekan ulang (check and recheck) dalam penyelesaian masalah sengketa secara tuntas dan damai. Akan tetapi, dengan adanya dominasi suara anggota tetap DK atas anggota tidak tetap DK PBB serta kekuatan hak veto yang dimiliki Amerika Serikat sebagai T1 dalam DK akan
59 Yudha Bhakti, op. cit, hlm. 172.



BAB III
KESIMPULAN

Hak veto adalah hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi. Hak veto biasanya melekat pada salah satu lembaga tinggi negara atau pada dewan keamanan PBB.

Di negara adikuasa, seperti Amerika Serikat, Presiden memiliki hak untuk memveto suatu rancangan undang-undang yang dapat merugikan jalannya pemerintahan. Presiden dapat memveto Rancangan Undang-undang (RUU) yang diajukan oleh DPR, Senat dan Kongres sekalipun jika itu menyangkut keselamatan jalannya pemerintahan. Hal ini diperoleh untuk mengimbangi besarnya kekuasaan lembaga legislatif.

Di keanggotaan tetap DK PBB, pemilik hak veto adalah negara-negara pemenang Perang Dunia Kedua yaitu Amerika Serikat, China, Inggris, Prancis dan Rusia. Mereka juga merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Kontrol de facto ini atas Dewan PBB oleh lima negara tersebut dipandang oleh para kritikus sebagai karakter PBB yang paling tidak demokratis. Para kritikus juga mengklaim bahwa hak veto adalah sebab utama bagi ketidaksigapan internasional terhadap kejahatan perang dan kejahatan melawan kemanusiaan.

Sejauh ini Amerika Serikat kerap menggunakan hak veto yang dimilikinya untuk menggagalkan banyak resolusi DK PBB tentang Israel. Sedangkan, tanpa hak veto itu, Amerika Serikat menyatakan menolak untuk bergabung dengan PBB.


DAFTAR PUSTAKA



- Copyright © Kambing Liwa - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -