BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan agama Hindu di Indonesia, diungkapkan oleh berbagai sarjana melalui berbagai teori. Hal ini menimbulkan berbagai kesulitan untuk dapat mengetahuinya secara pasti karena tidak didapatkannya sumber-sumber tertulis dari jaman itu yang berasal dari Indonesia sendiri. Menurut penelitian para ahli, secara umum dapat dikatakan bahwa masuk dan berkembangnya agama Hindu di Indonesia berasal dari India, berlangsung secara damai dan bertahap melalui kontak perhubungan dan perdagangan. Proses tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang amat panjang. Diawali dengan tukar menukar barang dagangan, kemudian kontak kebudayaan yang menyebar secara perlahan-lahan dari daerah pesisir hingga sampai masalah agama dengan mendirikan kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia.
Pengaruh agama Hindu secara jelas dapat diketahui sekitar tahun 400 masehi, dengan didapatkannya batu bertulis dalam bentuk Yupa ditepi sungai Mahakam Kalimantan Timur, menyebutkan tentang kerajaan Kutai. Yupa disebut berupa tiang batu korban yang dipergunakan untuk mengikatkan binatang korban saat dilaksanakan upacara. Dari isi Yupa tersebut memberi bukti-bukti kehinduan yang tertua di Indonesia. Yupa itu mempergunakan huruf Pallawa, bahasa Sansekerta. Keterangan-keterangan yang dilukiskan pada Yupa itu ditinjau dari segi religi menunjukan Siwaistis dengan Waprakewara pada isi Yupa yang ketiga dari 7 buah Yupa yang ditemukan. Waprakeswara berarti satu tempat suci yang berhubungan dengan Dewa Iswara (nama lain dari Dewa Siwa). Dan yupa yang lain, juga dapat diketahui bahwa agama yang dianut di Kutai adalah agama Brahma, yaitu dengan jenis hadiah yang diberikan oleh raja Mulawarman kepada para pendeta di tempat suci Yupa.






BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Agama Hindu di India
Sejarah agama Hindu di India, perkembangannya dapat diketahui dari kitab-kitab suci Hindu yang terhimpun dalam Weda Sruti, Weda Smrti, Intihasa, Upanishad dan lain sebagainya. Perkembangan umat Hindu di India berlangsung dalam kurun waktu yang amat panjang dimana menurut Govinda Das Hinduism Madras, dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
A.    Zaman Weda
Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa Arya kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi ke India, dengan menempati lembah sungai Sindhu, yang juga dikenal dengan nama Punjab (daerah lima aliran sungai). Bangsa Arya tergolong ras Indo Eropa, yang terkenal sebagai pengembara cerdas, tangguh dan trampil. Zaman Weda merupakan zaman penulisan wahyu suci Weda yang pertama yaitu Rig Weda. Kehidupan beragama pada zaman ini didasarkan atas ajaran-ajaran yang tercantum pada Weda samhita, yang lebih banyak menekankan pada pembacaan perafalan ayat-ayat Weda, yaitu dengan menyanyikan dan mendengarkan secara berkelompok. Weda adalah wahyu atau sabda suci Tuhan Yang Maha Esa (Hyang Widhi Wasa) yang diyakini oleh umat-Nya sebagai Anadi Ananta yakni tidak berawal dan tidak diketahui kapan diturunkan dan berlaku sepanjang masa. Weda Samhita dibukukan menjadi empat bagian, yaitu :
a.       Rig Weda, merupakan yang tertua dan yang terpenting, berisi mantera-mantera dalam bentuk nyanyian digunakan untuk mengundang para dewa agar hadir pada upacara-upacara kurban yang dipersembahkan kepada mereka (dewa-dewa). Manteranya terdiri dari 10.522. Imam-imam atau pendeta yang mengajukan pujian ini disebut Hotr.
b.      Sama Weda, isinya hampir seluruhnya diambil dari Rig Weda, kecuali beberapa nyanyian suci dinyanyikan pada waktu upacara dilakukan. Jumlah manteranya terdiri dari 1875. Imam atau pendeta yang menyanyikannya disebut Udgatr.
c.       Yayur Weda, terdiri dari 1975 mantra, berbentuk prosa yang isinya berupa yayur atau rafal dan doa. Digunakan untuk mengubah korban menjadi makanan para dewa diucapkan berulang-ulang disertai dengan menyebutkan nama dewa yang dihadirkan. Pendeta atau imamnya disebut Adwaryu.
d.      Atharwa Weda, terdiri dari 5987 mantra berbentuk prosa yang isinya berupa mantra-mantra dan kebanyakan bersifat magis, yang memberikan tuntunan hidup sehari-hari berhubungan dengan keduniawian seperti tampak dalam sihir, tenung, perdukunan. Isi sihir tersebut untuk menyembuhkan orang sakit, mengusir roh-roh jahat, mencelakakan musuh dan sebagainya. Dipimpin oleh Atharwan.
B.     Zaman Brahmana
Zaman ini ditandai dengan munculnya kitab Brahmana, yaitu bagian kitab Weda yang kedua. Kitab-kitab ini ditulis oleh bangsa Arya yang bermukim di bagian timur india Utara yaitu lembah sungai Gangga dalam bentuk prosa. Kitab ini memuat himpunan doa-doa serta penjelasan upacara korban dan kewajiban keagamaan. Hal ini disebabkan karena zaman ini adalah suatu zaman yang memusatkan keaktifan rohaninya kepada korban. Pada zaman Brahmana ini memang timbul perubahan-perubahan suasana. Ciri-ciri zaman ini adalah:
a.       Korban mendapat tekanan yang berat
b.      Para imam (Brahmana) menjadi golongan yang paling berkuasa
c.       Munculnya perkembangan kasta dan asrama
d.      Dewa-dewa berubah perangainya
e.       Timbul kitab-kitab sutra
C.     Zaman Upanishad
Dengan adanya catur asrama, terutama Vanaprastha dan Sanyasin menyebabkan mereka sempat mempelajari Weda dengan mendalam sehingga dapat menghasilkan kitab-kitab yang berisi renungan-renungan yang bersifat filosofis, kitab-kitab yang dikarang pada waktu mereka mengasingkan diri di hutan dinamakan kitab-kitab Aranyaka (kitab-kitab rimbna). Di antara kitab-kitab tersebut yang diakui tinggi mutunya sebagai kitab filsafat Hindu adalah kitab Upanishad (up, ni = di dekat; shad = duduk). Jadi Upanishad artinya duduk bersimpuh di dekat gurunya untuk mendengarkan wejangan-wejangan yang bersifat rahasia (khusus). Upanishad terutama mengandung ajaran-ajaran filosofis tentang hakikat atma (Atmawidya). Jadi titik beratnya adalah ontology. Di dalamnya diuraikan tentang hubungan antara Brahman dan Atman.
Masalah asal-usul dan tujuan manusia serta alam semesta digali secra mendalam dalam Upanishad. Isinya banyak yang tidak lagi bersumber pada Brahmana, bahkan kitab ini menjadi penentang utama terhadap kekuasaan mutlak para pendeta. Di beberapa tempat Upanishad mengecam keras dan mengutuk arti dan nilai korban serta ritus-ritus yang diselenggarakan oleh para Brahmana. Isi kitab Upanishad berbentuk dialog antara seorang guru dan muridnya, atau antara seorang brahmana dengan brahmana lainnya. Di dalamnya terdapat uraian filosofis tentang Atman, Brahman, Karma, Samsara dan Moksha yang kemudian dijadikan Pancasradha Hindu. Masa Upanishad (750-550 SM) ini merupakan permulaan kesuburan filsafat Hindu.

II.2 Sejarah Agama Hindu Masuk di Indonesia
Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda digenapi oleh para brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncul semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda. Kedatangan orang Yunani berikutnya, menyebut Hindu dengan Indoi, dan orang-orang Barat mengatakan India. Penduduk setempat menyebut keyakinan mereka Sanatana Dharma, yang berarti dharma yang kekal, abadi, tanpa awal dan akhir (anadi ananta). Kebenaran yang diajarkan adalah kebenaran universal yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sebagaimana disebutkan dalam Rg Veda VI. 24.7, “Tuhan Yang Maha Esa tidak akan menjadikan dia tua, bulan dan demikian pula hari.”[2]
Agama Hindu disebut Juga Vaidika Dharma karena bersumber pada wahyu suci Tuhan, yang disebut Pustaka Veda. Makna kata Veda dapat dikaji dengan dua pendekatan yaitu etimologi dan semantic. Secara etimologi, Veda berasal dari Vid yang berarti mengetahui sedangkan Veda berarti pengetahuan. Dalam semantic, Veda berarti pengetahuan suci, kebenaran sejati, kebijaksanaan tertinggi, pengetahuan, spiritual tertinggi atau ajaran suci. Wahyu Veda tidak hanya diterima satu orang, tetapi oleh banyak orang Rsi yang dikenal sebagai Saptarsi, Penerima wahyu Veda, antara lain: Rsi Grtsamada, Rsi Visvamitra, Rsi Vamadeva, Rsi Atri, Rsi Brhadvaja, Rsi Vasistan dan Rsi kanva. Para Rsi tersebut menerima wahyu Tuhan melalui:
a.       Svaranada, semula didengar sebagai gema, selanjutnya berubah menjadi sabda Tuhan, dan ini kemudian disampaikan sang Rsi kepada para siswanya;
b.      Upanisad, dalam keadaan meditasi pikiran para Rsi dimasuki oleh sabda Tuhan, sehingga Rsi berperan sebagai mediator komunikasi Tuhan dengan para muridnya;
c.       Darsanam, seorang Rsi berhadapan langsung dengan para dewa dalam suatu pandangan gaib; serta
d.      Avantara, wejangan langsung yang disampaikan oleh Tuhan yang berreinkarnasi ke dunia. Sabda suci Tuhan diterima langsung oleh para Maharsi dari Tuhan dikenal sebagai Veda Sruti (Meliputi Rgveda, Samaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda). Di bawah Veda Sruti, Umat Hindu juga mengenal sumber-sumber hukum Hindu, yakni smrti (Dharma-sastra), Sila (tingkah laku orang suci), Acara (tradisi yang baik) dan Atmanastusti (kesucian hati).

II.3 Awal Masuknya Agama Hindu di Indonesia
Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertama kalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
Krom (ahli – Belanda), dengan teori Waisya. Dalam bukunya yang berjudul “Hindu Javanesche Geschiedenis”, menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Mookerjee (ahli – India tahun 1912) menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Moens dan Bosch (ahli – Belanda) Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

II.4 Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.
Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti: Prasasti Dinoyo (Jawa Timur): Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau. Prasasti Porong (Jawa Tengah) Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

II.5 Agama Hindu di Indonesia.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Dari prasasti-prasasti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu” Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi. Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti. Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu,
Agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur. Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia. Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
           
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

II.6 Perkembangan agama Hindu di Indonesia
Perkembangan agama Hindu di Indonesia, diungkapkan oleh berbagai sarjana melalui berbagai teori. Hal ini menimbulkan berbagai kesulitan untuk dapat mengetahuinya secara pasti karena tidak didapatkannya sumber-sumber tertulis dari jaman itu yang berasal dari Indonesia sendiri. Menurut penelitian para ahli, secara umum dapat dikatakan bahwa masuk dan berkembangnya agama Hindu di Indonesia berasal dari India, berlangsung secara damai dan bertahap melalui kontak perhubungan dan perdagangan. Proses tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang amat panjang. Diawali dengan tukar menukar barang dagangan, kemudian kontak kebudayaan yang menyebar secara perlahan-lahan dari daerah pesisir hingga sampai masalah agama dengan mendirikan kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia. Pengaruh agama Hindu secara jelas dapat diketahui sekitar tahun 4000 masehi, dengan didapatkannya batu tertulis dalam bentuk Yupa di tepi sungai Mahakam Kalimantan Timur, menyebutkan tentang kerajaan Kutai, Yupa tersebut berupa tiang batu korban yang dipergunakan untuk mengikatkan binantang korban saat dilaksanakan upacara. Dari isi Yupa tersebut memberikan bukti-bukti kehidupan yang tertua di Indonesia. Yupa itu mempergunakan huruf Pallawa, bahasa Sansekerta. Keterangan-keterangan yang dilukiskan pada Yupa itu ditinjau dari segi religi menunjukkan siwaistis dengan Waprakeswara pada isi Yupa yang ketiga dari 7 buah Yupa yang ditemukan. Waprakeswara berarti satu tempat suci yang berhubungan dengna Dewa Iswara (nama lain dari Dewa Siwa). Dan Yupa yang lain, juga dapat diketahui bahwa agama yang dianut di Kutai adalah agama Brahma, yaitu dengan jenis hadiah yang diberikan oleh raja Mulawarman kepada para pendeta di tempat suci Yupa.
Selanjutnya pengaruh kehinduan berkembang ke Jawa Barat, yang diperkirakan mulai sekitar abad ke 5, ditandai dengan munculnya kerajaan Taruma Negara dengan rajanya bernama Purnawarman. Bukti-bukti kehinduannya diberikan bukti dengan 7 buah prasasti pada batu-batu bertulis memakai huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Ketujuh prasasti tersebut dijumpai di Ciareteum, Kebon Kopi, Jambu Pasir Awi, Muara Cianten dan Lebak. Dari prasasti tersebut diperoleh keterangan bahwa raja Purnawarman beragama Hindu dengan menokohkan Dewa Wisnu sebagai sumber pemberi kemakmuran. Hal ini jelas disebutkan dalam prasasti Tugu, bahwa raja Purnawarman dalam pemerintahannya menggali sungai Gomati yang diakhiri dengan pemberian hadian berupa 1000 lembu kepada Brahmana. Selain berupa prasasti, juga berupa arca perunggu memakai atribut Dewa Wisnu ada didapatkan di Cibuaya, yang memperjelas bahwa raja Purnawarman di Jawa Barat menganut agama Hindu.
Kehinduan berikutnya berpengaruh di Jawa Tengah, diperkirakan sekitar tahun 670 masehi, dengan diberikan persaksian berupa batu bertulis yang didapatkan di lereng gunung Merbabu. Prasasti itu memakai huruf Pallawa yang type hurufnya lebih muda dari yang ditemukan di Jawa Barat. Memakai bahasa Sansekerta. Sebagian hurufnya telah rusak dan dari yang masih dapat dibaca, menyatakan bahwa pengaruh Hindu yang berkonsepsikan Tri Murti yaitu pemujaan terhadap Dewa Brahma Wisnu dan Siwa muncul di Jawa Tengah, yang diperkirakan berasal dari Jawa Barat akibat kerajaan Taruma Negara mendapatkan tekanan dari kerajaan Sriwijaya. Batu bertulis tersebut bernama Tuk Mas berisi gambaran atribut Dewa Tri Murti seperti kendi, cakra, tri sula, kapak dan bunga teratai yang sedang mekar dengan pujian terhadap sungai Gangga di India, jelas menunjukkan identitas agama Hindu. Selain prasasti Tuk Mas juga ditemukan prasasti Canggal memakai huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta di dekat Sleman Jawa Tengah, juga memuat konsepsi Tri Murti. Prasasti ini memakai Candra Sangkala, yang dikeluarkan oleh raja Sanjaya pada tahun 654 Saka (732 masehi), dengan pemujaan yang lebih menonjol pada Dewa Siwa. Pengaruh agama Hindu di Jawa Timur dapat ditemukan pada prasasti Dinoyo, dekat kota Malang yang berangka tahun 760 masehi. Prasasti ini memakai huruf Jawa Kuna dan bahasa Sansekerta, menceritakan bahwa pada abad ke 8 itu telah ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan diperintah oleh rajanya bernama Dewa Simha. Pemerintahannya sangat bijaksana dan terkenal sakti. Beliau menganut agama Hindu dengan memuja Dewa Siwa. Di dalam pemerintahannya beliau mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk penghormatan terhadap Dewa Siwa, berupa arca Maharsi Agastya. Arca ini pada mulanya dibuat dari kayu cendana kemudian diganti dengan batu hitam. Untuk peresmiannya dilaksanakan oleh para pendeta akhli veda. Arca tersebut diberi nama Kumbha Yoni yang dikenal sebagai tokoh pembawa dan penyebar agama Hindu dari India Selatan ke Indonesia. Selain arca, juga penghormatan terahdap Maharsi Agastya diabdikan dalam prasasti-prasasti dan Candi Badut dekat kota Malang. Di dalam candi tersebut berisikan sebuah Lingga dan arca Puntikeswara, merupakan lambang Agastya yang selalu digambarkan seperti Siwa dalam wujudnya sebagai Mahaguru.
Perkembangan agama Hindu berikutnya di Jawa Timur dapat diketahui dari munculnya Empu Sindok sebagai peletak dasar yang memerintah di kerajaan Medang (929-947 masehi) bergelar Sri Isyana Tungga Dewa Wijaya, yang berarti raja yang sangat memuliakan pemujaan terhadap Dewa Siwa dan berkonsepsikan Tri Murti. Kehidupan agama Siwa saat ini berdampingan dengan agama Budha dan bahkan saling mempengaruhi dan mendekati. Mpu Sindok beragama Siwa dan putrinya kawin dengan Lokapala yang disebut Sugata Paksa (Sebutan Budhis). Agama Siwa selanjutnya banyak dipengaruhi oleh Budha Mahayana dan filsafat Wedanta. Pada jaman ini banyak disusun buku-buku keagamaan seperti Bhuwana Kosa, Bhuwana Sangksepa, Wrhaspati Tattwa, sedangkan untuk Budha Mahayana adalah Sang Hyang Kamahayanikan.
Berikutnya dalam pemerintahan raja Dharmawangsa di Jawa Timur (991-1016O) disusun kitab hukum bernama Purwadigama yang mengambil sumber dari Veda Smrti atau Manawa Dharma Sastra dan Siwa Sasana. Selain itu juga kitab Mahabharata dari India disalin ke dalam Bahasa Jawa Kuna sebanyak 9 buah parwa. Sikap raja Airlangga sama seperti Mpu Sendok, yaitu melindungi perkembangan agama Hindu dan Budha. Airlangga beragama Hindu aliran Wisnu, banyak mendirikan bangunan-bangunan suci antara lain : Pertapaan di Pucangan, Patirtan di Jalatunda. Airlangga punya 2 putra, supaya tidak terjadi perebutan tahta, melalui pertolongan Mpu Bharadah pada tahun 1041, kerajaan dibagi 2 yaitu :
a.       Kerajaan Jenggala (Singasari) dengan ibu kotanya Kahuripan.
b.      Kerajaan Panjalu (Kediri) dengan ibu kotanya Daha.
Setelah selesai membagi kerajaan Airlangga menjadi pertapa dengan nama Resi Gentayu (Bhatara Guru). Tahun 1042 wafat dimakamkan di Belahan dan kemudian diarcakan dengan Wisnu menaiki Garuda yang kini masih tersimpan di museum Tro Wulan Mojokerto.
Dalam perkembangannya kerajaan Singasari tak ada beritanya, sedangkan Kediri tumbuh menjadi besar dan berpengaruh. Agama yang dianut adalah Hindu aliran Wisnu. Pada jaman ini muncul kitab-kitab Kresnayana dalam bentuk kakawin yang digubah oleh Mpu Panuluh, Hariwamsa oleh Mpu Panuluh, Gatotkacasraya oleh Mpu Panuluh, Wrettasancaya, Lubdhaka oleh Mpu Tanakung dan Summana Santaka serta Bhoma Kawya oleh Mpu Monaguna.
Dalam masa Singasari dalam pemerintahan raja Kerta Negara (1268-1292) ada usahanya yang dicapai dalam memajukan perkembangan agama Hindu, yaitu dengan mengangkat seorang Dharmadhyaksa yaitu pemimpin agama Sinkrestisme. Saat itu pula terjadi penyatuan agama Siwa dengan Budha yang disebut Siwa Budha.
Luluhnya perpaduan agama Hindu dengan Budha mengalami puncaknya pada masa Majapahit (1293-1528). Perkembangan kehidupan beragama hidup berdampingan secara rukun dan damai antara Siwa, Wisnu dan Budha Mahayana, sebagai bentuk bermacam-macam yang ditampilkan oleh satu kebenaran. Siwa dan Wisnu dinilai sama, digambarkan sebagai Hari Hara (Siwa dan Wisnu dalam satu arca) seperti yang ditemukan di Candi Simping (Blitar). Demikian pula Siwa dan Budha dipandang sama nilainya. Arca tersebut merupakan perwujudan yang indah dari Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit. Secara lebih jelas lagi antara Siwa dan Budha diceritakan dalam pustaka Arjuna Wiwaha, Sutosoma, Kunjarakarna, Bubuksah Gagangaking.
Selain itu penghormatan terhadap rajanya yang wafat yang dipandang sebagai Dewa pujaannya setelah di-upacarakan pelepasan jiwanya terhadap jasmaninya, didirikan sebuah patung ditempatkan pada candi penjenasahan. Upacaranya ini disebut Sradha. Pengaturan di bidang keagamaan diatur secara bijaksana, pedoman untuk pengadilan ditetapkan sehingga kehidupan beragama berkembang dengan baik. Namun kemudian setelah masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, kejayaan kerajaan Majapahit berangsur-angsur surut. Sejalan dengan itu perkembangan agama Hindu di Jawa juga mengalami kemunduran.
Perkembangan agama Hindu kemudian mengalih dari Jawa Timur ke Bali. Diperkirakan dari sebelum abad ke 8 hingga abad ke 10. Hal ini dibuktikan dengan penemuan Ye te mantra Budha yang menyebutkan tentang Siwa Sidharta di Pejeng. Lebih jauh mengenai perkembangan berikutnya tentang Siwa Budha ini, Siwa lebih menonjol. Keterangan lebih jelas termuat dalam prasasti Sukawana A.I dan rontal Bhuwana Tattwa Maharsi Markandeya yang menderitakan sampai pada pendirian Pura Besakih memakai dasar Panca datu. Perkembangan Agama Hindu di Bali berlangsung dari masa Bali Kuna hingga sekarang mengalami kepesatan. Pada masa Bali kuna diawali dari pemerintahan raja suami istri antara Dharmodayana Warmadewa dengan Gunapriya Dharmapatni (putra Mpu Sindok) dari Jawa Timur, luluh bersatu dan mencapai puncaknya. Saat itu pula ke Bali datang Mpu Kuturan, ditugaskan menata kehidupan beragama, menegakkan dharma dan sistim kemasyarakatan, hingga Bali menjadi aman dan tertib.
Perkembangan agama Hindu pada masa Bali pertengahan sampai masa Bali baru diawali dari jatuhnya kerajaan Bali Kuna, sehingga terjadi kekosongan pimpinan di Bali, kemudian terbentuk majelis umat Hindu yang tertinggi bernama Parisada Dharma Hindu Bali. Perkembangan agama Hindu pada masa Bali pertengahan diawali dari pemerintahan Sri Kresna Kepakisan beristana di Samprangan. Kemudian diganti oleh Dalem Waturenggong mencapai puncak keemasannya, karena diangkatnya pendeta istana yang bernama Dang Hyang Nirartha, banyak jasanya dalam pembinaan agama Hindu di Bali. Dalam masa Bali baru, perkembangan agama Hindu menjadi tidak terkoordinasi karena belum ada badan yang tunggal, sehingga perkembangannya menjadi beraneka ragam. Perkembangan penghayat keagamaan banyak bermunculan dan terakhir terangkum dalam wadah Parisada Dharma Hindu Bali.
Perkembangan agama Hindu di Bali dalam masa penjajahan, penanganannya mengalami pasang surut, pada awalnya ditangani oleh Guru Tiga (Guru Rupaka, Pengajian dan Wisesa) masing-masing dengan swa dharmanya selanjutnya mengalami perubahan yang pelik. Khususnya dalam segi tata urutan hidup kemasyarakatan, karena dicampuri oleh penjajah, sehingga menimbulkan keresahan.
Perkembangan agama Hindu di Bali pada masa kemerdekaan khususnya pada bidang Dharma negara, mengalami masa yang pelik, karena mengubah tata cara kehidupan umat tetapi tidak mengubah keyakinan terhadap agama yang telah dipeluknya. Perkembagnan hidupnya agama Hindu mengalami pasang surut, karena adanya KUAP (Kantor Urusan Agama Pusat) dan KUAD (Kantor Urusan Agama Daerah) pada saat terbentuknya propinsi Administrasi Nusa Tenggara selaku Instansi tehnis, tidak diperuntukkan pada umat Hindu. Kemudian muncullah penumpasan G. 39 S PKI yang dapat mendorong peningkatan kehidupan umat beragama dan akhirnya berhasil diwujudkan adanya Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha di Departemen Agama Pusat sejak tahun 1967, yang dipandang wajar untuk memberikan tuntunan dan pengawasan terhadap pelaksanaan di daerah-daerah sampai ke tingkat Kabupaten.
Selain itu juga keputusan-keputusan Pesamuhan dan Maha Sabha Parisada Hindu Dharma dapat dilaksanakan dengan baik. Sebagai wujud nyata hasil-hasil dalam dharma agama juga dapat dicapai melalui pendirian Kantor Agama di daerah Bali, pendirian sekolah PGAH, Mahavidya Bhawana Institut Hindu Dharma, Parisada dan Perhimpunan Penghayat keagamaan yang kesemuanya itu merupakan indikator adanya suatu perkembangan bagi kehidupan umat Hindu di Bali maupun di seluruh Indonesia. Selanjutnya pembinaan-pembinaan melalui penyuluhan-penyuluhan ke desa-desa hingga dapat terpadu dengan pemerintah melalui berbagai program-program pembangunan yang selalu dikaitkan dengan keagamaan. Buku-buku tuntunan telah dapat diterbitkan, namun jumlahnya masih sangat terbatas adanya.
Berikutnya setelah jaman kemerdekaan diperoleh, barulah kemudian pada tanggal 3 Januari 1946 Departeman Agama Republik Indonesia berdiri, sebagai salah satu bentuk jaminan pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan adanya pemekaran struktur organisasi Departemen Agama, maka dapat dirasakan telah dapat memberikan pelayanan kepada semua umat beragama, termasuk umat Hindu di Indonesia.
Pembinaan untuk umat Hindu di luar Bali ditangani oleh Pembimbing Masyarakat Hindu yang ada pada masing-masing Kantor Wilayah Departemen Agama setempat. Dan kini hampir di seluruh propinsi di Indonesia telah terdapat umat Hindu secara tersebar akibat pemerataan pembangunan dan program transmigrasi sehingga pendidikan-pendidikan formal untuk mendalami ajaran agama Hindu juga mulai berkembang, dengan berdirinya sekolah PGA Hindu di wilayah Jawa, Lampung dan Kalimantan Tengah. Untuk pembinaan keumatan dilakukan pada masing-masing pura pada saat mereka melaksanakan upacara-upacara seperti hari-hari raya besar yang lainnya seperti Galungan, Saraswati, Pagerwesi, Nyepi dan lain sejenisnya.Tempat-tempat suci keagamaan hampir diseluruh Indonesia telah ada sesuai dengan perkembangan umat Hindu di seluruh wilayah Indonesia.





BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi dengan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.

III.2 Saran
Demikianlah makalah ini saya susun, agar dapat berguna bagi para pembaca dan dapat mngetahui bagaimana sejarah agama hindu dan perkembangan nya di Indonesia. Saya sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah kami ini, untuk itu saran yang mmbangun sangat saya harapkan demi terwujudnya makalah yang sempurna.








DAFTAR PUSTAKA

Bantas, I ketut (2008) Pendidikan Agama Hindu 1 Jakarta Universitas Terbuka


- Copyright © Kambing Liwa - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -